Monday, May 6

PENTING!

"Bapak beli kompor 7 juta!", adikku melapor seolah bapak habis merampok rumah kepala kepolisian senilai 7 miliar.

"Oya? Kapan? Memangnya yang lama udah rusak?" tanyaku penasaran.

"Baru kemaren. Justru itu, yang lama baik-baik aja. Yang baru mau ditaruh dmana? Alasan belinya cuma karena ini kompor model baru. Ditambah alasan yang lama pake gas dan yang baru pake listrik. Jadi siapa tahu gas habis katanya", adikku berapi-api.
Hm, iya sih, kompor lama super canggih di "jamannya" itu berukuran tidak kecil. Jadi yang baru ditaruh dimana ya? Hm, TAPI iya juga sih, gas bisa jadi susah ditemukan dipasaran. Mungkin bapak punya firasat kalau hidup di Kalimantan ini yang berstatus sebagai sumber minyak dan gas tapi penduduknya suka ngga kebagian jatah minyak, akan segera ngga kebagian jatah gas juga. Ironis memang.

"Kehabisan gas itu alasan paling dibuat-buat deh. Kan mending duitnya buat kebutuhan lainnya dulu yang lebih penting," adikku masih tidak terima.

Benarkah membeli kompor tidak penting?
Memiliki perkakas rumah yang komplit adalah kesenangan bapak sejak dulu. Bahkan memiliki perkakas rumah dengan merek dan kualitas terbaik adalah obsesinya. Baginya, rumah boleh jadi bentuknya tak memuaskan estetika. Peletakan barang pun seringnya tak menyejukkan mata, yang mana itu dulu sering jadi sumber "pertempuran" kami di rumah. Tapi aku mengerti bahwa bapak akan mengisi rumah dengan misalnya membeli ranjang terbaik, memilih perabotan yang tahan lama, menumpuk peralatan makan berkualitas, atau menyimpan perkakas dari merek nomer satu, tentunya disesuaikan dengan kemampuan finansialnya. Termasuk kompor, yang harus selalu "canggih dijamannya". Apalagi bapak suka memasak. Meskipun sebenarnya sekarang bapak tinggal sendiri setelah ditinggal anak-anaknya berkarir dan berkeluarga. Sepertinya satu tabung gas pun kayaknya baru akan habis berbulan-bulan untuk beliau memasak sendiri kebutuhan makannya.
 
Jadi ini sepertinya hanya masalah prioritas. Adikku mungkin tak sadar. Jika untuknya, yang penting adalah wisata kuliner, entah berapa rupiah sudah dia habiskan untuk sensasi kenikmatan berbagai menu. Maka buat bapak, bukan enaknya makanan, tapi sensasi memasak dengan kompor canggih (meskipun hanya untuk merebus ikan yang ditaburi garam) yang lebih memuaskan jiwa.   

Mungkin sama seperti orang yang suka menyayangkan orang-orang lain yang menghabiskan uang untuk membeli tas mewah demi "investasi", dan pemilik tas menyayangkan uang yang oranglain habiskan untuk travelling demi menghasilkan foto dan keseruan sementara. Mending jadi barang, kata pemilik tas mewah. Orang yang satu menyayangkan orang-orang lain yang rela mengeluarkan isi kocek demi gonta-ganti gadget, dan orang - orang pecinta gadget mungkin menyayangkan uang yang dihabiskan orang lain untuk ke bioskop. Film sih mending download aja, kata pecinta gadget.

Lucu ya ternyata, bahwa kita suka menganalisa mana yang penting dan tidak untuk oranglain, berdasarkan apa yang penting dan tidak untuk diri kita sendiri. Well, membeli kompor tidak penting untukku dan adikku. Tapi kompor canggih sangat penting untuk "me time" bapak di rumah.

"Yaaaa mau bagaimana lagi, toh uang lebih itu hasil keringat bapak sendiri. Mungkin ada baiknya kita biarkan bapak memutuskan sendiri juga uangnya mau dipake untuk beli barang yang dia mau," kataku setengah membela bapak, meskipun aku pun tidak merasa beli kompor cukup bijaksana di saat tahu bahwa atap teras depan masih rusak dan jendela rumah pun butuh perbaikan.

Sunday, May 5

HARAHAP

"Udah ngga lentur nih!"

Jleb. Itu kalimat bercitarasa sembilu. Sebagai perempuan aktif di umur produktif, hati kecil ngga mau terima kalau pinggang ini oleh seorang tukang pijet di vonis "tidak lentur". 
"Pak, kan aku suka lari 10K", aku membela diri.   
        "Kapan terakhir?"
Wakwaw! Iya kapan terakhir ya? Hehe
"Pak, tapi kan aku banyak jalan waktu keliling Jogja, Malang, Bali, Lombok 6 bulan yang lalu. Belum lagi naik gunung Bromo, Ijen, ama Gede juga sekitar 6 bulan lalu."
       "Olahraga itu ngga menjamin bikin sehat. Ngga ada hubungannya. Tapi setidaknya bikin badan bugar dan lentur. Nah klo mau lentur, ya jangan sesekali dan balas dendam. Kayak misalnya: Ahhh, pokoknya kali ini maen bulutangkis ampe mandi keringat. Ahhh, pokoknya sekarang mau maen futsal sampe maksimal. Atau ahhhh hari ini harus jogging 10K tapi terus absen 6 bulan ke depan. Wah itu sih bakal babak belur. Dan yang ada bukannya sehat. Malah uratnya sakit smua karena kaget. Olahraga ngga usah yang mahal-mahal. Cukup jalan kaki atau stretching sekitar 20 menit tiap hari juga cukup. Yang penting kuncinya  HARUS RUTIN dan BERTAHAP".

Ahhhhh HARAHAP! Pikirku. HArus Rutin dan bertAHAP. Aarggghhhh dua kata terakhir terdengar menyebalkan tapi entah mengapa terasa benar. Mungkin karena dua hal itu adalah kelemahanku. Sebagai freelancer bertahun-tahun aku tidak terbiasa dengan sesuatu yang rutin. Setiap pekerjaan berbeda. Dan justru alasan terbesar yang mengantarkan aku menjadi freelancer adalah KEDINAMISAN. Terngiang kata sakti dari sang idolaku Paolo Coelho: "If you think adventure is dangerous, try routine it's lethal." Jadi pekerjaanku terkadang dengan penuh tantangan banyak menumpuk sampai gaya sok sibuk melebihi RI 1. Atau malah santai melebihi anak pantai. Bertahap? Hmmmm. Kata yang udah lama juga tidak dicerna. Karna pekerjaanku (tampak) tidak ada tahapannya. Setiap proyek kerja punya ritme dan gejolak dan sensasinya tersendiri, terlepas dari apa yang dimaksud dengan tinggi atau rendahnya "tahap" disini.

Ahhhh, banyak alasan!!!! Ego memang selalu pintar cari pembenaran. Karena jauh dilubuk hati, ada yang bilang kalau tak terbayang jika matahari sesuka-suka hati datang dan pergi demi jiwanya yang petualang. Atau karena "mau beda ajah" dari rambutan lainnya maka tanpa alasan pohon rambutan berbuah durian. Atau jantung berhenti berdegup karena "bosen bangetttt puluhan tahun kerjaan gue gitu-gitu aja kayak mayat hidup" *heh?*

Alam ada dalam keteraturan yang rutin dan bertahap. Begitu juga tidak ada seorangpun yang terlahir dengan ketrampilan. Hanya bermodal bakat, kerutinan berlatihlah yang menghasilkan. So it's not routine that kills. Boredom does. Mungkin bahkan seorang Paolo Coelho pun harus kembali belajar lebih banyak lagi dari alam apa arti rutin dan bertahap. Dan tentang seberapa besar artinya aturan dan keteraturan. 

         "Seringkali hati kecil kita tahu kok apa yang harus dilakukan. Dan hati kecil kita tahu banyak jawaban.  Tapi suka terkalahkan dengan rasa malas. Rasa malas itu harus dilawan."
Danggg, suara tukang pijat lagi-lagi memecah kesunyian dan memecah hati sanubari. Ya rasa malas dan pembenaran, pikirku lagi. Wah, profesi memijat tuh benar-benar bisa membawa kebijaksanaan ya? Semoga bisa ditularkan pada yang dipijat.

Manusia memang kadang hanya perlu diingatkan. Untungnya kali ini aku diingatkan hanya lewat pinggang kaku dan tukang pijat berusia awal 50-an.

So, demi pinggang lentur dan hidup yang (secara fisik dan mental) lebih sehat...OK let's do it! Bye (false) adventure..hello routine, whatever routine it is! Dan aku yakin, kerutinan kali ini akan penuh petualangan!