"Bapak beli kompor 7 juta!", adikku melapor seolah bapak habis merampok rumah kepala kepolisian senilai 7 miliar.
"Oya? Kapan? Memangnya yang lama udah rusak?" tanyaku penasaran.
"Baru kemaren. Justru itu, yang lama baik-baik aja. Yang baru mau ditaruh dmana? Alasan belinya cuma karena ini kompor model baru. Ditambah alasan yang lama pake gas dan yang baru pake listrik. Jadi siapa tahu gas habis katanya", adikku berapi-api.
Hm, iya sih, kompor lama super canggih di "jamannya" itu berukuran tidak kecil. Jadi yang baru ditaruh dimana ya? Hm, TAPI iya juga sih, gas bisa jadi susah ditemukan dipasaran. Mungkin bapak punya firasat kalau hidup di Kalimantan ini yang berstatus sebagai sumber minyak dan gas tapi penduduknya suka ngga kebagian jatah minyak, akan segera ngga kebagian jatah gas juga. Ironis memang.
"Kehabisan gas itu alasan paling dibuat-buat deh. Kan mending duitnya buat kebutuhan lainnya dulu yang lebih penting," adikku masih tidak terima.
Benarkah membeli kompor tidak penting?
Memiliki perkakas rumah yang komplit adalah kesenangan bapak sejak dulu. Bahkan memiliki perkakas rumah dengan merek dan kualitas terbaik adalah obsesinya. Baginya, rumah boleh jadi bentuknya tak memuaskan estetika. Peletakan barang pun seringnya tak menyejukkan mata, yang mana itu dulu sering jadi sumber "pertempuran" kami di rumah. Tapi aku mengerti bahwa bapak akan mengisi rumah dengan misalnya membeli ranjang terbaik, memilih perabotan yang tahan lama, menumpuk peralatan makan berkualitas, atau menyimpan perkakas dari merek nomer satu, tentunya disesuaikan dengan kemampuan finansialnya. Termasuk kompor, yang harus selalu "canggih dijamannya". Apalagi bapak suka memasak. Meskipun sebenarnya sekarang bapak tinggal sendiri setelah ditinggal anak-anaknya berkarir dan berkeluarga. Sepertinya satu tabung gas pun kayaknya baru akan habis berbulan-bulan untuk beliau memasak sendiri kebutuhan makannya.
"Oya? Kapan? Memangnya yang lama udah rusak?" tanyaku penasaran.
"Baru kemaren. Justru itu, yang lama baik-baik aja. Yang baru mau ditaruh dmana? Alasan belinya cuma karena ini kompor model baru. Ditambah alasan yang lama pake gas dan yang baru pake listrik. Jadi siapa tahu gas habis katanya", adikku berapi-api.
Hm, iya sih, kompor lama super canggih di "jamannya" itu berukuran tidak kecil. Jadi yang baru ditaruh dimana ya? Hm, TAPI iya juga sih, gas bisa jadi susah ditemukan dipasaran. Mungkin bapak punya firasat kalau hidup di Kalimantan ini yang berstatus sebagai sumber minyak dan gas tapi penduduknya suka ngga kebagian jatah minyak, akan segera ngga kebagian jatah gas juga. Ironis memang.
"Kehabisan gas itu alasan paling dibuat-buat deh. Kan mending duitnya buat kebutuhan lainnya dulu yang lebih penting," adikku masih tidak terima.
Benarkah membeli kompor tidak penting?
Memiliki perkakas rumah yang komplit adalah kesenangan bapak sejak dulu. Bahkan memiliki perkakas rumah dengan merek dan kualitas terbaik adalah obsesinya. Baginya, rumah boleh jadi bentuknya tak memuaskan estetika. Peletakan barang pun seringnya tak menyejukkan mata, yang mana itu dulu sering jadi sumber "pertempuran" kami di rumah. Tapi aku mengerti bahwa bapak akan mengisi rumah dengan misalnya membeli ranjang terbaik, memilih perabotan yang tahan lama, menumpuk peralatan makan berkualitas, atau menyimpan perkakas dari merek nomer satu, tentunya disesuaikan dengan kemampuan finansialnya. Termasuk kompor, yang harus selalu "canggih dijamannya". Apalagi bapak suka memasak. Meskipun sebenarnya sekarang bapak tinggal sendiri setelah ditinggal anak-anaknya berkarir dan berkeluarga. Sepertinya satu tabung gas pun kayaknya baru akan habis berbulan-bulan untuk beliau memasak sendiri kebutuhan makannya.
Jadi ini sepertinya hanya masalah prioritas. Adikku mungkin tak sadar. Jika untuknya, yang penting
adalah wisata kuliner, entah berapa rupiah sudah dia habiskan untuk sensasi kenikmatan berbagai menu. Maka buat bapak, bukan enaknya makanan,
tapi sensasi memasak dengan kompor canggih (meskipun hanya untuk merebus
ikan yang ditaburi garam) yang lebih memuaskan jiwa.
Mungkin sama seperti orang yang suka menyayangkan orang-orang lain yang menghabiskan uang untuk membeli tas mewah demi "investasi", dan pemilik tas menyayangkan uang yang oranglain habiskan untuk travelling demi menghasilkan foto dan keseruan sementara. Mending jadi barang, kata pemilik tas mewah. Orang yang satu menyayangkan orang-orang lain yang rela mengeluarkan isi kocek demi gonta-ganti gadget, dan orang - orang pecinta gadget mungkin menyayangkan uang yang dihabiskan orang lain untuk ke bioskop. Film sih mending download aja, kata pecinta gadget.
Lucu ya ternyata, bahwa kita suka menganalisa mana yang penting dan tidak untuk oranglain, berdasarkan apa yang penting dan tidak untuk diri kita sendiri. Well, membeli kompor tidak penting untukku dan adikku. Tapi kompor canggih sangat penting untuk "me time" bapak di rumah.
"Yaaaa mau bagaimana lagi, toh uang lebih itu hasil keringat bapak sendiri. Mungkin ada baiknya kita biarkan bapak memutuskan sendiri juga uangnya mau dipake untuk beli barang yang dia mau," kataku setengah membela bapak, meskipun aku pun tidak merasa beli kompor cukup bijaksana di saat tahu bahwa atap teras depan masih rusak dan jendela rumah pun butuh perbaikan.
Mungkin sama seperti orang yang suka menyayangkan orang-orang lain yang menghabiskan uang untuk membeli tas mewah demi "investasi", dan pemilik tas menyayangkan uang yang oranglain habiskan untuk travelling demi menghasilkan foto dan keseruan sementara. Mending jadi barang, kata pemilik tas mewah. Orang yang satu menyayangkan orang-orang lain yang rela mengeluarkan isi kocek demi gonta-ganti gadget, dan orang - orang pecinta gadget mungkin menyayangkan uang yang dihabiskan orang lain untuk ke bioskop. Film sih mending download aja, kata pecinta gadget.
Lucu ya ternyata, bahwa kita suka menganalisa mana yang penting dan tidak untuk oranglain, berdasarkan apa yang penting dan tidak untuk diri kita sendiri. Well, membeli kompor tidak penting untukku dan adikku. Tapi kompor canggih sangat penting untuk "me time" bapak di rumah.
"Yaaaa mau bagaimana lagi, toh uang lebih itu hasil keringat bapak sendiri. Mungkin ada baiknya kita biarkan bapak memutuskan sendiri juga uangnya mau dipake untuk beli barang yang dia mau," kataku setengah membela bapak, meskipun aku pun tidak merasa beli kompor cukup bijaksana di saat tahu bahwa atap teras depan masih rusak dan jendela rumah pun butuh perbaikan.